Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Syekh Arsyad Al-Banjari, Datuk para waliyullah dari tanah Borneo

Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Datuk para waliyullah dari tanah Borneo



Di Kalimantan Selatan, tidak jauh dari Banjarmasin, terdapat sebuah daerah yang berjuluk Serambi Mekkah. Nama aslinya adalah kota Martapura, ibukota kabupaten Banjar. Sejak dahulu sampai saat ini, Martapura adalah salah satu tujuan utama untuk menimba ilmu agama, sebab di sana terdapat banyak lembaga pendidikan Islam. Di antara yang paling besar sekaligus tertua adalah Pondok Pesantren Darussalam. Di Martapura juga terdapat begitu banyak majlis-majlis ta'lim yang selalu di hadiri ribuan umat muslim. Kota ini juga bisa disebut sebagai kota santri, sebab bagi yang pernah berkunjung, tentu akan menemui santri dan santriwati di pinggir jalan yang menambah kesan religius kota Martapura.

Semua macam kereligiusan yang tampak di kota tersebut kalau ditelusuri adalah berkat jasa seorang ulama karismatik asal tanah Banjar. Ia bernama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Seorang ulama yang masyhur di Indonesia bahkan Asia Tenggara, Khalifah Syekh Samman Al Madani, bermadzhab Syafi'i dalam Fiqih dan Asy'ari dalam aqidah, ulama yang berlimpah karya, serta pendidik sejati dari tanah Borneo. 

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar dilahirkan pada malam kamis jam 3 dini hari, tanggal 15 Shafar, tahun 1122 Hijriah, bertepatan dengan 19 Maret 1710 Masehi. 

Ia dilahirkan dari pasangan suami istri Abdullah dan Aminah. Keduanya dikenal sebagai pasangan suami istri yang sholeh dan sholehah. Sebelum kelahiran Syekh Arsyad, sebenarnya sudah sejak lama mereka mengidamkan kehadiran seorang anak, hingga pada bulan Ramadhan, pasangan tersebut mendapat anugerah malam lailatul qadar. Kesempatan tersebut tidak mereka sia-siakan. Keduanya lantas berdo'a agar diberi keturunan yang sholeh dan mengamalkan ilmunya. Setelah itu, sang istri hamil anak pertama yang setelah lahir diberi nama Ja'far, namun ketika remaja namanya diganti menjadi Muhammad Arsyad. 

Syekh Arsyad kecil adalah anak yang sangat cerdas. Sang orang tua memberinya pendidikan agama sejak kecil, hingga nampaklah kelebihannya. Ia sudah mahir baca tulis ketika masih kecil di saat banyak masyarakat yang belum tahu baca tulis. Ia juga memiliki ketertarikan dengan seni kaligrafi, hal itu bisa dilihat dari Al Qur'an tulisan tangannya yang ditulis dengan khat yang indah. Kemampuan itulah yang membuat Sultan waktu itu tertarik untuk mengadopsi dan mendidiknya di lingkungan istana. 

Di istana, ia mendapat perlakuan khusus. Sultan yang berkuasa waktu itu sangat menyayanginya, terutama ketika sebuah peristiwa ganjil nampak pada dirinya. Suatu malam salah satu pengawal melihat Arsyad kecil sedang tidur, namun pada waktu itu terjadi sesuatu yang sangat aneh, tubuh Arsyad kecil terangkat dari tempat tidur sekitar satu hasta. Karena takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka sang pengawal membangunkannya, ketika terbangun ia pun menangis. Saat ditanya apa yang terjadi sebenarnya, ia bercerita tengah bermimpi ditemui seorang tua, lalu mengajaknya terbang ke langit. 

Ketika ia beranjak dewasa, Sultan menikahkannya dengan seorang perempuan sholehah yang bernama Tuan Bajut. Ia adalah istri yang begitu Cinta serta ta'at pada suami. Apa saja yang akan dilakukan suaminya, ia rela dengan sepenuh hati, sekalipun ditinggal suami menuntut ilmu ke kota Makkah selama puluhan tahun, padahal waktu itu ia sedang mengandung anak pertama mereka. 

Ketika sang istri mengandung, Syekh Arsyad meminta idzin kepada Sultan untuk berangkat ke tanah suci Mekkah demi menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Maka atas idzin Sultan ia pun berangkat. 

Sekitar tiga puluh tahun waktu ia habiskan untuk menuntaskan dahaganya akan ilmu di kota Makkah dan di Madinah lima tahun. Ia belajar kepada ulama-ulama besar ternama di masanya. Syekh Muhammad Sulaiman Al Kurdi, Syaikh Atho'illah Al Azhari, Assyekh Muhammad bin Abdul Karim Assamman Al Madani adalah sedikit dari deretan nama Guru Besar yang pernah ia timba ilmunya. 

Selama di Makkah pula, ia sempat diminta untuk mengajar di Masjidil Haram. Salah satu di antara muridnya adalah Syekh Muhammad Murid Ar-Rowi, penulis kitab Fathul Mubin, salah satu kitab syarah Hadist Arba'in Imam Nawawi. 

Ketika sampai masanya, maka pulanglah beliau ke tanah air bersama beberapa sahabat seperjuangan. Di antaranya adalah Syekh Abdul Wahab Bugis (Sulawesi), Syekh Abdus Shomad Al-Falimbani (Sumatera), Syekh Abdurrahman Misri (Betawi), dan beberapa orang lainnya. 

Sampai di tanah air, ia tidak langsung ke Martapura, melainkan singgah dahulu di Betawi ke tempat sahabatnya, Syekh Abdurrahman Misri. Di Betawi ia sempat membetulkan qiblat beberapa mesjid, sebab ia tidak hanya ahli dalam ilmu syariat, ia juga dikenal mumpuni dalam ilmu falak (Astronomi). Ketika hendak membetulkan qiblat masjid itu, ada sebagian orang yang tidak mempercayainya. Maka demi membuktikan kebenarannya, Syekh Arsyad mengacungkan tangannya dan meminta orang-orang melihat celah lengan bajunya. Ketika itulah orang-orang terkejut, sebab dari celah lengan baju beliau dapat terlihat Baitullah. Maka fahamlah mereka bahwa Syekh Arsyad bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang waliyullah. 

Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, masih lebih baik di negeri sendiri. Walau mendapat penghormatan di tanah Betawi, ia tetap memilih pulang ke tanah kelahirannya. Di Martapura ia di sambut dengan suka cita. Seorang yang ditunggu-tunggu kini telah tiba. Sampailah saatnya ia menyebarkan ilmu di tanah Banjar. Setelah tiba ke kampung halaman, ia mendapat gelar "Tuan Haji Besar".

Di kampung halaman, ia diberi hadiah tanah yang luas, kemudian ia manfaatkan untuk tempatnya menebarkan ilmu. Di sekeliling tanah tersebut ia pagari, sehingga setiap orang yang ingin mengaji kepadanya selalu mengatakan "hendak mengaji ke Dalam Pagar", lalu tempat ia mengajar itulah yang kini dinamai kampung Dalam Pagar. 

Ia adalah pembawa Thoriqoh Sammaniyyah pertama di tanah Borneo. Thoriqoh Sammaniyyah di susun oleh Al Imam Assyekh Samman Al-Madani, dan Syekh Arsyad Al-Banjari adalah khalifah beliau. Kemudian hari, Thoriqoh ini dipopulerkan oleh salah satu dzurriyyahnya, Maulana Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani. 

Bertahun-tahun ia mengajar, beribadah, dan menyebarkan ilmu lewat tulisan. Ia adalah ulama yang produktif, tak kurang dari 20 kitab ia sumbangkan untuk menambah khazanah keilmuan ummat Islam. Di antara kitab karyanya yang paling familiar adalah Sabilal Muhtadin, sebuah kitab fiqih bermadzhab Syafi'i. Pernah di cetak di Malaysia, Makkah, Mesir, dan negara-negara Islam lainnya. 

Tidak hanya karya tulis ia sumbangkan untuk ummat, namun juga keturunan keturunan sholeh sholehah yang di kemudian hari mereka menyebar ke seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri untuk menebarkan ajaran Islam. Syekh Abdurrahman Siddiq di Indragiri, Riau, Syekh Husen Keddah di Keddah, Malaysia, Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari di Makkah, Syekh Abdul Karim Al-Banjari di Makkah, Syekh Ali Juanid di Berau, Kalimantan Timur, Syekh Syarwani Abdan di Bangil, Pasuruan, dan masih banyak lagi. 

Setelah kepulangannya dari Makkah, tanah banjar semakin Makmur akan ilmu dan keimanan. Waktu dan tenaganya ia habiskan untuk menebarkan ilmu hingga usia senja menyongsong. Di usia 105 tahun, ia sakit hingga membawanya menghadap Rabbul 'Alamiin. Sesuai wasiatnya, apabila ia wafat di musim penghujan, maka ia mesti di maqamkan di desa Kalampaian, namun apabila kewafatannya di musim kemarau, maka peristirahatan terakhirnya adalah di desa Tungkaran. Ketika itu tengah musim kemarau, namun ketika ia wafat, hujan deras mengguyur bumi, langit menumpahkan air mata kesedihan, berat berpisah dengan sang pendidik sejati. Maka di maqomkanlah ia di desa Kalampaian. Hingga saat ini namanya senantiasa dikenang, pusaranya senantiasa di datangi oleh ribuan orang dari seluruh penjuru dunia untuk mengambil keberkahan serta menapak tilas perjalanan hidupnya yang penuh dengan pelajaran berharga. 

Sumber : Manaqib Waliyullah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Karya Ustadz Ahmad Daudi. 
3 Permata Ulama Dari Tanah Banjar. Karya Tim Pustaka Basma. 

Post a Comment for "Syekh Arsyad Al-Banjari, Datuk para waliyullah dari tanah Borneo"