Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menyorot Tuhan Melalui Kacamata Filsafat Yunani dan Islam

 



Makalah

Pengantar Filsafat

Menyorot Tuhan Melalui Kacamata Filsafat Yunani dan Islam

Dosen Pengajar : Mardiah, M.fil

Disusun Oleh :

Siti Nor Asma 2022180001

HUKUM TATA NEGARA

STAI DARUL ULUM KANDANGAN

KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN

TAHUN 2022/2023

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayat-Nya serta berbagai upaya, tugas makalah mata kuliah Pengantar Filsafat yang membahas tentang Menyorot Tuhan Melalui Kacamata Filsofi Yunani dan Islam dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Dalam penyusunan makalah ini, ditulis berdasarkan buku yang berkaitan dengan Filsafat, dan serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan Filsafat. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna. Untuk itu diharapkan berbagai masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaannya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat membawa manfaat untuk pembaca.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan ini pada hakikatnya tidak bisa terlepas dari masalah. Di mana-pun manusia hidup pasti akan menghadapi persoalan karena, hal demikian memang sudah ditetapkan oleh Allah sebagai ujian bagi manusia. Sebuah ungkapan menyatakan “Bahwa hidup merupakan rangkaian dari masalah”. Seluruh problem manusia tersebut menuntut adanya penyelesaian. Kenyataannya, tidak semua problem dapat diselesaikan sendiri oleh individu, kadangkala membutuhkan seorang ahli untuk memecahkan problemnya.

Manusia memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan makhluk - makhluk lain di alam semesta. Karena mereka memiliki akal untuk berpikir. Mereka sebagai makhluk yang berpikir akan selalu mencari tahu atas setiap pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Diantara objek yang dijadikan atau dipikirkan oleh manusia adalah keberadaan pencipta alam semesta. Banyak tokoh filsof yang menjadikan Tuhan sebagai objek kajiannya. Mereka berusaha membuktikan eksistensi Tuhan dan Sifat- sifat Nya. Diantara mereka terdapat tokoh – tokoh besar seperti aristoteles, plato, dan sokrtes dan tokoh – tokoh filsafat islam seperti al -kindi, ibnu sina, dan al – Ghazali.

Bagi seseorang penting mengenal Tuhannya. Agama Islam sendiri memiliki Tuhan yang Esa yaitu Allah Swt. yang memiliki nama-nama indah, dan setiap muslim wajib mengimaninya tetapi, umat Muslim di Indonesia khususnya, hanya menerima agama sebatas warisan leluhur saja. Inilah yang menjadi kelemahan umat Muslim Indonesia, karena umat sudah terdoktrin dengan kata-kata “Setiap Muslim pasti masuk surga” padahal pahala surga itu didapatkan tidak seperti membalikkan telapak tangan, untuk buang air saja dibutuhkan perjuangan.

Pertanyaan atheis yang sering muncul adalah “Mengapa Tuhan tidak dapat dilihat?” Hal ini disebabkan para atheis hanya menggunakan pancaindranya saja dalam melihat eksistensi Tuhan. Seandainya para atheis tidak hanya menggunakan indranya, dan lebih mengoptimalkannya dengan akal dan hatinya, karena sudah banyak sekali tanda-tanda kekuasaan-Nya dari hal-hal kecil sampai hal-hal yang amat besar di dunia ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran Aristoteles tentang Tuhan

2. Bagaimana pemikiran plato tentang Tuhan

3. Bagaimana pemikiran Sokrates tentang Tuhan

4. Bagaimana pemikiran Al - Kindi tentang Tuhan

5. Bagaimana pemikiran Ibnu sina tentang Tuhan

6. Bagaimana pemikiran Al - Ghazali tentang Tuhan

C. Tujuan

1. Mengetahui isi pemikiran Aristoteles tentang Tuhan

2. Mengetahui isi pemikiran Ploto tentang Tuhan

3. Mengetahui isi pemikiran Sokrates tentang Tuhan

4. Mengetahui isi pemikiran Al- Kindi tentang Tuhan

5. Mengetahui isi pemikiran Ibnu Sina tentang Tuhan

6. Mengetahui isi pemikiran Imam Ghazali tentang Tuhan

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tuhan

Manusia senantiasa mencari siapa penguasa tertinggi (ultimate reality) di dunia ini. Penguasa tertinggi itu kemudian disebutlah Tuhan. Dalam bahasa lain istilah tuhan disebut ilah, god, hyang, ely, dll. Orang komunis, dengan menggunakan pendekatan diletika material sampai kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada. Bukan hanya komunis, banyak lagi orang di luar itu yang tidak bertuhan (atheis). Akan tetapi al-Qur’an menegaskan bahwa semua manusia pasti bertuhan mustahil tidak, paling tidak, individu tersebut bertuhan kepada hawa nafsunya.

Secara bahasa, Tuhan (Bahasa Indonesia) sinonim dengan kata God, The Lord God, Almighty God, Deity (bahasa Inggris), Got (Belanda), Golt (Jerman), Gudd (Swedia, Norwegia), Allon (Phoenicians), Ado (Canaanites), Adonai, Yahuwa, Elohim, Ekah, Eli (Yahudi).

Secara istilah Tuhan adalah segala sesuatu yang paling dicintai. Apabila seseorang lebih mencintai mobil barunya daripada segalanya, maka mobil itu menjadi Tuhan baginya. Apabila jabatan lebih dicintai melebihi segalanya maka jabatan itu adalah Tuhannya. Dengan demikian ada orang yang menuhankan harta, tahta, wanita, dll. Dengan kata lain, banyak manusia yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan. Allah menegaskan :

 "Maka pernahkah kamu melihat orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya ?" (QS. 45 : 23).

B. Pemikiran Para Filsof Tentang Tuhan

1. Pemikirran Aristoteles Tentang Tuhan

Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran

Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles

dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas di abad ke-13, dengan teologi

Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 –

1198). Maimoides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa

dengan yudaisme. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah

yang terpengaruh demikian dalamnya oleh Aristoteles. Bahkan di jaman dulu dan jaman

pertengahan, hasil karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali,

Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris.

Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi sangat tinggi di akhir abad tengah

tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan itu tulisan –

tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam lampu penerang jalan yang terang untuk

mencari jawaban problem yang lebih lanjut. Aristoteles tidak sepakat dengan sanjungan

membabi buta dari generasi-generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya.

Menurut Aristoteles filsafat ilmu adalah sebab dan asas segala benda. Filsafat ilmu

merupakan ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-

ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Oleh karena itu, ia

menamakan filsafat sebagai Theologi. Filsafat sebagai refleksi dari pemikiran sistematis

manusia atas realitas dan sekitarnya, tidak berdiri sendiri dan tidak tumbuh di tempat atau

ruang yang kosong. Lingkungan keluarga, sosial alam dan potensi diri akan ikut

mempengaruhi seseorang dalam melakukan refleksi filosofis.

Oleh karenanya, dalam sejarah pemikiran manusia terdapat tokoh pemikir ataupun filosof yang selalu saja muncul dari zaman ke zaman dengan tema yang berbeda-beda.

1. Logika

Penemuan Aristoteles yang terbesar dalam bidang logika adalah silogisme

(syllogimos). Silogisme maksudnya uraian berkunci, yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan yang umum atas hal yang khusus dan dapat digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru dan tepat dari dua kebenaran yang telah ada. Sebagai contoh ada dua pernyataan:

≈Setiap manusia pasti akan mati

≈Dia adalah manusia Maka dapat di tarik kesimpulan bahwa dia pasti akan mati

Menurut Aristoteles, pengetahuan baru dapat dihasilkan melalui dua cara yaitu

induksi dan deduksi. Induksi yaitu bertolak dari kasus-kasus yang khusus

menghasilkan pengetahuan tentang yang umum. Sedangkan deduksi bertolak dari dua kasus yang tidak disangsikan dan atas dasar itu menyimpulkan kebenaran yang ke tiga. Cara deduksi inilah yang di sebut silogisme. Induksi tergantung pada pengetahuan indrawi sedangkan deduksi atau silogisme sama sekali lepas dari pengetahuan indrawi. Itulah sebabnya mengapa Aristoteles menganggap deduksi sebagai cara sempurna menuju pengetahuan baru.

2. Filosofia teoritika

a. Fisika: yaitu tentang dunia materiil (ilmu alam dan sebagainya). Kosmos terdiri dari dua wilayah yang sifatnya berbeda. Wilayah sublunar di bawah bulan,

maksudnya bumi) dan wilayah yang meliputi bulan, planet dan bintang. Aritoteles

beranggapan bahwa jagat raya terbatas, berbentuk bola dan jagat raya tidak mempunyai permulaan dalam waktu dan tidak mempunyai akhir (kekal). Sedangkan bumi dan isinya terdiri dari empat unsur: api, udara, tanah dan air. Sedangkan selain bumi hanya terdiri dari satu unsur yaitu aether. Penggerak pertama adalah yang tidak di gerakkan.

Beberapa pembagian penting untuk memahami pemikiran Aristoteles:

1) Doktrin tentang substansi dan aksiden, benda dan bentuk Substansi adalah hal

pertama dan fundamental dari setiap benda dan kategori. Substansi merupakan kategori pertama dan fundamental yang membedakannya dengan kategori-kategori lainnya yang merupakan aksidennya saja. Misalkan kita ambil contoh sebuah meja. Meja adalah substansinya sedangkan warna hijaunya, untuk makan, dll adalah aksidentnya saja. Jadi bisa dikatakan substansi adalah apa yang membuat benda itu adalah totalitas benda itu sedangkan aksidentnya adalah apa yang membuat benda itu sebagai benda particular; meja adalah ketotalan dari meja sedangkan warna hijau, untuk makan adalah kepartikularan benda itu.

2) Konsep gerak

Konsep Gerak termasuk konsep yang penting dalam pemikiran Aristoteles.

Gerak ini juga menandakan perubahan dari potensial ke actual. Di sini

perubahan itu tidak menjadi hal yang penting; apakah perubahan dari potensial

ke actual itu adalah pertumbuhan, pembusukan, perubahan kualitas jumlah dan

kualitas, atau pun berubah tempat.

3) Konsep tentang elemen dan teori mixio Selain soal gerak, hal penting lain dari Aristoteles yang menjadi pegangan dari pemikiran barat pada kurun waktu yang lama setelahnya adalah dokrin tentang empat elemen yang berasal dari system pemikiran Empedokes dan bagaimana cara menemukan keempat elemen itu dalam prinsip–prinsip yang sangat mendalam. Keempat elemen ini mempunya kualitas-kualitasnya tertentu pula yakni kualitas sentuhan, aktif, harus berpasang-pasangan dalam oposisinya. Aristoteles menunjukan delapan pasangan yang mempunya kualitas haptic yang kontras satu sama lain: panas-dingin, kerng-lembab, berat-ringan, jarang- padat, lembut-keras, kasar-halus, rapuh-tabah. Dan elemen dari material dunia ditandai oleh empat kemungkinan kombinasi dari dua haptic aktif kualitas (prima quialitates): tanah (kering dan dingin), air (dingin dan lembab), udara (lembab dan panas), api (panas dan kering). Segala material alam di dunia ini

mengandung paling sedikit dua dari keempat elemen ini.

4) Gerak natural dan gerak dipaksa

Setiap gerakan digerakkan oleh sesuatu yang lainnya. Ini merupakan aksioma

yang mendasari Fisika Aristotelian. Gerak sendiri merupakan sesuatu yang

sangat menjadi perhatian Aristoteles. Misalnya dalam De Anima sendiri

Aristoteles sudah membicarakan soal gerak. Setiap benda yang bergerak selalu

diakibatkan oleh penggerak yang lainnya yang bisa juga sedang bergerak atau

juga diam.

b. Matematika: yaitu tentang barang yang menurut kuantitasnya. Aristoteles berprinsip bahwa tidak hinggaan hanya ada di dalam konsep saja. Pemikiran ini kemudian menjadi perdebatan pada generasi setelah beliau. Pemikiran Aristoteles yang terbesar dalam matematika adalah tentang logika dan analisis. Aristoteles

berpendapat bahwa logika harus diterapkan pada semua bidang ilmu, termasuk

matematika. Analisis diperlukan untuk membangun aksioma-aksioma yang terdapat di dalam matematika. Dia menuliskan gagasan-gagasannya tentang logika ini pada Aristoteles; Biografi dan Pemikiran 4 bukunya yang baru di temukan ratusan tahun setelah kematian Aristoteles. Pada buku inilah gagasan tentang silogisme dan pembuktian matematika diperkenalkan.

c. Metafisika: yaitu berpusat pada persoalan barang dan bentuk. Bentuk dikemukakan sebagai pengganti pengertian dari Dunia Ide Plato yang ditolaknya. Berbeda dengan plato yang memisahkan ide dan kenyataan lahir, Aristoteles beranggapan bahwa bentuk ikut serta memberikan kenyataan pada benda. Benda dan bentuk tak dapat dipisahkan. Barang ialah materi yang tidak mempunyai bangun, melainkan hanya substansi, maka bentuk adalah bangunnya. Sebagai contoh pada pandangan plato, jiwa tidak dapat mati karena merupakan sesuatu yang adikodrati berasal dari dunia ide. Plato berpendapat bahwa jiwa itu bersifat kekal. Sedangkan menurut Aristoteles, jiwa dan tubuh ibarat bentuk dan materi. Jiwa merupakan asas hidup yang menjadikan tubuh memiliki kehidupan. Disadari Aristoteles, bahwa tubuh bisa mati oleh sebab itu, maka jiwanya juga ikut mati.

2. Pemikiran Plato Tentang Tuhan

Pertama, Plato berpendapat bahwa tuhan adalah keberadaan yang ilahi yang bersifat rohani atau akali, dalam arti: yang keadaannya berlawanan dengan yang bendawi, yaitu keberadaan yang halus, yang tidak tampak, yang tidak dapat diraba. Yang ilahi, yang bersifat rohani atau akali itu jauh lebih tinggi daripada yang bendawi dan mengatasi yang bendawi itu. Oleh karena itu yang ilahi ini disebut transenden. Jadi sifat tuhan yang transenden itu disebabkan karena sifatnya yang rohani atau akali, yang mengatasi yang bendawi.

Kitab Perjanjian Lama memang penuh dengan gagasan tentang Tuhan Allah yang Mahatinggi. Contohnya, kitab Kejadian 14:19 menyebutkan bahwa Abraham diberkati oleh Tuhan Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi. Berdasarkan ayat-ayat semacam itu dijelaskan bahwa Tuhan Allah adalah transenden, dalam arti yang diberikan oleh Plato, yaitu bahwa Tuhan Allah pada hakekatnya tidak dapat dihampiri oleh akal manusia. Pada umumnya gambaran teologia Kristen mengenai Tuhan Allah adalah demikian: Tuhan Allah adalah transenden. Hakekat-Nya atau zat-Nya tidak dapat dikenal oleh manusia secara mutlak.

Gambaran yang demikian tentang Tuhan Allah memang mempunyai segi-seginya yang menguntungkan, yaitu bahwa dengan demikian manusia dapat dipandang sebagai bergantung kepada Tuhan Allah saja. Tuhan Allah berbeda sekali dengan manusia. Ada jarak yang tidak terjembatani antara Tuhan Allah dan manusia. Akan tetapi segera orang akan merasa, bahwa dengan demikian manusia tidak mungkin mengenal Tuhan Allah. Manusia tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Tuhan Allah. Segala pembicaraan tentang Tuhan Allah tiada dasarnya dan tiada gunanya. Oleh karena itu maka timbullah ajaran tentang penyataan atau wahyu Tuhan Allah, yang dipandang sebagai penyesuaian diri Tuhan Allah kepada keadaan manusia. Agar supaya Tuhan Allah yang transenden, yang tidak dapat ditembus oleh akal manusia itu, dapat dimengerti oleh manusia, maka Tuhan Allah di dalam penyataan atau wahyu-Nya harus menyesuaikan diri dengan kecakapan manusia. Di dalam penyataan atau wahyu-Nya itu Tuhan Allah memakai bentuk-bentuk manusiawi.

Dengan demikian timbullah ajaran tentang dua macam pengetahuan tentang Tuhan Allah. Ada pengetahuan tentang Tuhan Allah yang dimiliki oleh Tuhan Allah sendiri, yang tidak dapat diketahui oleh manusia, dan ada pengetahuan tentang Tuhan Allah yang dimiliki oleh manusia, yang berdasarkan penyataan atau wahyu Tuhan Allah.

 Kedua, Plato sendiri tidak menuntut adanya satu ilah atau tuhan, asal semuanya memiliki satu tabiat (nature) yaitu tabiat ilahi (divine nature). Tuhan harus dipandang sebagai keberadaan sejati (the real being) , zat yang bersifat akali atau rohani serta yang tidak berubah (the true, intelligible and immutable being). Yang penting ialah, bahwa cara berada Tuhan harus diubah dari cara berada yang bersifat jasmaniah (material) menjadi cara berada yang akali atau rohani (immaterial). Pandangan Plato ini bila kita tinjau secara mendalam, kita mendapat kesan, bahwa sebenarnya akal manusialah yang menentukan bagaimana seharusnya Tuhan. Selanjutnya, pengetahuan tentang Tuhan menjadi kabur. (Calvin, p13). Dengan ajarannya tentang tabiat ilahi itu sebenarnya ilah atau tuhan menjadi pengertian yang predikatif, artinya: pengertian yang menunjuk kepada nama sifat. Tuhan menjadi ketuhanan atau yang ilahi. Dengan sendirinya tuhan seperti ini menjadi sasaran pemikiran manusia. Tuhan dianggap penting, bukan sebagai subyek yang berbuat, melainkan sebagai obyek atau sasaran yang menyinarkan sinar. Jika tuhan ini dipandang sebagai sebab segala sesuatu, hal itu bukan karena ia berbuat dengan tindakan-tindakannya, melainkan karena ia seolah-olah menarik segala sesuatu, tanpa dapat ditentang, seperti halnya dengan sebuah magnit menarik serpihan besi.

Dari uraian di atas juga jelas bahwa yang menjadi dalil Plato ialah yang ilahi itulah tuhan, bukan Tuhan adalah yang ilahi. Bagi Plato yang penting ialah yang ilahi dahulu, seolah-olah ada sesuatu yang ilahi, lalu yang ilahi ini dianggap tuhan.

Ketiga, pandangan plato mengenai “ide adalah yang sempurna” dan bahwa “rasio merupakan level tertinggi dalam pembagian manusia” sangat berpengaruh terhadap kepercayaan dan pemikirannya tentang Tuhan. Berlandankan kepercayaannya terhadap ilmu Yunani bahwa hanya sedikit keterlibatan Allah dalam dunia ini, serta sedikit ketergantungan manusia kepada Tuhan, Plato dalam bukunya Timaeus mengatakan bahwa dunia diciptakan dalam gambar "model unik, sempurna dan kekal." Model ini adalah yang tertinggi dan paling benar-benar sempurna dari hal-hal yang dimengerti dimana orang bisa memahaminya melalui akal/rasio. Plato sesungguhnya meyakini adanya suatu penciptaan akan alam semesta ini. Ia berpendapat bahwa terdapat oknum yang tak terbatas yang dinyatakan sebagai pencipta alam. Akan tetapi keberadaan oknum tak terbatras ini tidak lebih tinggi dari manusia rasio manusia.

Dalam bukunya Timeaus Oknum yang tak terbatas ini disebut Demiurgos. Demiurgos merupakan tokoh yang sangat menarik dan penuh dengan teka-teki. Ia betanggung jawab atas keberadaan dunia benda. Alam semesta diciptakannya sebagai makluk hidup yang modelnya berdasarkan pada makluk hidup yang dapat berpikir. Demiurgos ada bersama-sama secara abadi dengan bentuk, namun Ia bukan merupakan bentuk individual, juga bukan merupakan keseluruhan bentuk (Melling,p275). Meskipun Plato mempercayai adanya oknum yang tak terbatas yang menciptakan alam semesta ini, namun ia tidak menyebutkan oknum tersebut sebagai Tuhan. Yang membedakan Demiurgos yang dipercayai Plato dengan Tuhan Allah dalam iman Kristen adalah demiurgos merupakan dewa yang menciptakan layaknya seorang seniman yang tidak hanya melakukan penciptaan ilahi tetapi juga menciptakan bentuk (Melling, p 270), sedangkan Tuhan Allah dalam Iman Kristen adalah oknum yang memiliki kehendak bebas untuk menciptakan segala sesuatu, yang melakukan penciptaan ilahi dari ketiadaan.

Di dalam iman Kristen mempercayai bahwa eksistensi Allah tidak hanya ada di dalam dunia yang nyata saja (fisik). Akan tetapi lebih besar dari itu, Allah ada di seluruh bagian di dunia ini baik dalam dunia nyata maupun di dunia yang tidak terjangkau oleh pemikiran manusia. Tidak ada satu orang pun yang dapat mengenal Allah dengan kemampuan kemanusiaannya. Oleh karena itu dalam pengenalan akan Allah dengan segala keberadaannya, manusia tidak akan dapat menyelidikinya dengan kemampuan dan pengertian manusia sendiri. Atas dasar kemampuan apa manusia dapat mengenal Allah, jika bukan karena Allah sendiri yang menyatakan dirinya kepada manusia (Mat. 11:27). Hal inilah yang bertentangan dengan pendapat plato bahwa semua pengetahuan dan keberadaan alam berdasar pada rasio manusia. Jadi keberadaan Allah bukan akibat dari sesuatu di luar diriNya. Allah bukan diciptakan, akan tetapi Allah ada dari diriNya sendiri (Yohanes 5:26). Allah adalah hidup dan keberadaan Allah kekal (Yoh. 1:1-4). Ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu (Mzm. 139:7-12), tanpa awal dan akhir (Wahyu 1:8).

Oleh karena itu pernyataan Plato tentang ‘oknum tak terbatas’ yang menciptakan alam semesta pada kenyataannya sangat bertolak belakang dengan pandangan Kristiani mengenai Tuhan sebagai pencipta.

3. Pemikiran Sokrates Tentang Tuhan

Socrates adalah seorang filosof dengan coraknya sendiri. . Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. kebenaran itu tetap dan harus dicari.

Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu metodenya disebut maieutik. Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi.

Seperti yang dilakukan Sokrates dengan nalarnya. Menurutnya, cara mengetahui dan memahami keberadaan Tuhan adalah dengan mengenali diri sendiri atau yang dikenal dengan istilah Gnoti Seauton. Sokrates berpandangan bahwa dengan mengenali diri sendiri, maka manusia akan mampu mengenal Tuhan. Baca Juga Benarkah Filsafat Sesat dan Menyesatkan? Adapun cara yang diajarkan Sokrates melalui pemikirannya ini dilalui lewat dua jalan, yaitu dari bukti-bukti alam dan dari sejarah manusia. Dengan demikian, manusia nantinya akan ditujukan pada satu tujuan yaitu Tuhan Yang Esa.

4. Pemikiran Al – Kindi Tentang Tuhan

Pengertian Tuhan dalam Filsafat Al-Kindi terlihat dalam risalahnya yang di hadiahkan kepada Ahmad bin Al Mu’tashim Billah tentang filasafat pertama. Kesimpulan risalah tersebut Al-kindi mengatakan: Dialah Yang Pertama, Pencipta yang mengusai segala ciptaannya, Tuhan adalah pencipta langit dan bumi, sutau yang lepas dari kekuasaannya adalah durhaka dan pasti binasa.

Allah itu satu tunggal awal dan akir, sesuai dangan ajaran islam mengenai tauhid wahdaniyah dan tauhid rububiyah, artinya tuhan dalam konsep Al-kindi adalah satu-satunya wujid yang memiliki keabadian mutlak, mengandung unsur sebab utama mencipta dan semprna, Dimana wujidnya bukan karena sebab lain. Zat yang menciptakan segala sesuatu yang ada, zat sempurna itu ada dengan sendrinya . maka zat itu tidak mempunyai alawa dan akir, karena itu pula tuhan di sebut sebagai sebab yang pertama. Dan semua wujud yang diciptakan tuhan adalah suatu yang baru dan akan binasa, karena semua yang di ciptakan masuk dalam ruang dan waktu, dan segala hal yang masuk dalam ruang dan waktu dapat musnah sesuai dengan kehendak pencipta.

Dan untuk membuktikan bahwa penciptaan alam semesta adalah suatu gerak, bahwa gerak tidaklah abadi, ada keterhinggaan, dan tidak ada dengan sendirinya, oleh karena itu alam semesta tidak abadi, dalam pembuktian ini Al-kindimemakai dua perinsip aristoteles

1. Yang terbatas tidak biasa menjadi aktual, yaitu tidak bisa ada badan yang tak terbatas

2. Badan, ruang dan waktu sering bersamaan, ketiganya bergeraka secara serentak

Adapun pernyataan-pernyataan al-kindi yang di pakai dalam hubunganya dengan perinsip-perinsip aristoteles :

1. Semua badan yang homogen, yang tiada dari padanya lebih besar daripadanya ketimbang yang lain,adalah sama

3. Jarak antara ujung-ujung dari badan-badan yang sama besar juga sama besarnya dalam aktualitas dan potentitas

4. Badan-badan yang berhingga tidak bisa tidak terhingga

5. Jika salah satu dari dua badan yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan badan homogen lainnya maka keduanya tidak menjadi sama besar. (badan akan menjadi lebih besar dari pada keduanya dan lebih besar dari apa sebelumnya )

6. Jika badan di kurangi, maka besar sisanya lebih kecil dari pada besar semula

7. Jika suatu bagian di ambil dari sebuah badan lalu di pilihkan kembali padanya, maka hasilnya adalah badan yang sama yang kita punyai sebelumnya

8. Tiada dari dua badan homogen yang besarnya tak terhingga bisa lebih kecil ketimbang yang lain

9. Dari dua buah badan yang homogen, yang kecil adalah lebih kecil dalam hubungan dengan yang lebih besar dari keduanya, atau dalam hubungan dengan suatu bagian dari yang lebih besar

10. Jika badan-badan yang homogen, yang semuanya terbatasi ditambahkan bersamaan, maka jumlahnya juga akan terbatas.

Untuk menjelaskan pendapat bahwa dialah (tuhan) yang pertama, satu-satunya ujud yang memiliki keabadian yang mutlak, Al-kindi memaparkan argumentasi; jika di anggap bahwa alam semesta tidak mempunyai permulaan dalam waktu, yakni tak terbatas, maka harus ada satu badan dalam alam semesta tak terbatas, dan ini merupakan kontradiksi, dalam arti jika diambil sebagian dari tak terbatas, maka sisanya adalah tak terbatas, jika keseluruhannya tak terbatas dan ditambahkan dengan bagian yang di ambil, maka hasilnya adalah badan yang sama seperti sebelumnya (sebagai mana yang di sebutkan dalam nomor enam di atas), yaitu suatu badan yang tak terbatas, ini yang akan mengisaratkan bahwa yang menyeluruh adalah sama dengan yang bagian, yang berarti kontradiktif, maka badan yang ada pada aktualisasi pasti terbatas, dan badan dalam alam semesta secara aktual ada, yang berarti bahwa badan alam semesta ini di ciptakan.

Pada argumen selanjutnya al-kindi mengatakan bahwa; jika alam itu diciptakan, maka proses kelakuannya adalah dari suatu yang tiada adalah gerak. Sedangkan gerak tidak abadi tetapi diciptakan, maka alam semesta telah di ciptakan dari tiada satu apapun. Dan sebaliknya jika alam semesta itu abadi dan kemudian bergerak, maka gerakan adalah suatu perubahan. Ini berarti bahwa apa yang abadi telah melewati suatu keadaan diam ke suatu keadaan gerakan, yang berarti tidak masuk akal karena apa yang abadi tidak berubah. Oleh karena itu alam semesta di ciptakan dalam waktu.

Demikianlah pendapat al-kindi, sebagai peneguh tuhan adalah abadi, karena tuhan tidak terkena perubahan, sebab dialah pencipta alam semesta dan satu-satunya wujud yang abadi. Dialah pencipta sedangkan yang lain diciptakan. dan dialah yang abadi, sedangkan yang lain tidak abadi sebab yang lain mengalami perubahan, dan sebuah perubahan itu tidaklah abadi.

 KONSEP TUHAN MENURUT AL-KINDI

Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.

Sebelum membicarakan hakekat tuhan, Al-kindi mengemukakan pendapatnya tentang hakekat itu sendri, dikatakan, tiap-tiap benda mempunyai dau hakekat, yakni hakekat jus’i atau bisa disebut hakekat aniah, dan hakekat kulli atau bisa di sebut juga hakekat mahiah. dan apakah tuhan mempunyai kedua hakekat tersebut.

Dalam pemikiran Al-kindi tuhan tidak memiliki hakekat baik itu aniah ataupun mahiah, tidak aniah karena tuhan tidak termasuk benda-benda yang ada dalam alam semesta, bahkan ia adalah pencipta semesta alam, juga tidak mempunyai hakekat mahiah, karena tuhan tidak termasuk dalam genus ataupun sepeses yang ada. tidak adanya dua hakekat ini tidak berarti tuhan tidak, ada sebab tuhan bersifat azali. Yaitu zat yang sama sekali tidak bisa di katakan tidak ada, atau ada pada permulaannya ada , melainkan zat yang ada dalam wujudnya tidak tergantung pada lainnya atau bergantung pada sebab.

Jadi berbeda dengan jisim, zaman mauoun gerak, tiap jisim ada kesudahannya, tiap tempat dan zaman ada kesudahannya, semua anasir jenis itu tidak abadi dan azali; azali bukanlah suatu jenis melainkan suatu yang benar, yang tidak ada kesudahannya, yaitu Tuhan.

Demikianlah pemikiran Al-kindi tentang hakekat tuhan, ia memang tidak banyak mengemukakan pemikiran mengenai hakekat tuhan. hakekat tuhan sudah cukup jelas dan lebih mudah di gambarkan dalam pikiran, karena pembahasannya pun tidak memerlukan alasan-alasan dan pemikiran yang berbelit-belit.

5. Pemikiran Ibnu Sina Tentang Tuhan

Abu ‘Ali al Husain Ibnu ‘Abdillah ibn Hasan ibnu ‘Ali Sina lahir di sebuah desa kecil di Bukhara, Uzbekistan. Ilmuwan yang lahir pada 370 H atau 980 M ini lebih dikenal dengan nama Avicenna di dunia barat.

Membahas tentang Tuhan dalam pemikiran filosof muslim berarti membahas tentang metafisika, yang dalam hal ini Ibnu Sina memandang metafisika merupakan pengetahuan tentang segala yang ada sebagai “adanya” dan sejauh yang dapat diketahui manusia. Berkaitan dengan metafisika inilah Ibnu Sina membicarakan sifat wujudiah sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain. Esensi, dalam paham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah), Ibnu Sina berargumentasi dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud, yang mengingatkan kita kepada filsafatnya Al-Farabi, yang bahkan terkesan tidak ada tambahan sama sekali. Berikut penjelasannya.

Wajib al-wujud, yaitu esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibnu Sina membagi Wajib al-Wujud ke dalam dua pembagian, yaitu: 1) Wajib al-wujud bi dzatihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan olah zatnya sendiri. Dalam hal ini esensi itu tidak bisa diceraikan dengan wujud, karena keduanya adalah satu dan wujudnya tidak didahului oleh ketiadaan (ma’dum), ia akan tetap ada selamanya. Wajib bi dzatihi ini biasanya disebut oleh Ibnu Sina dengan Al-Wajib saja, yaitu Allah Yang Maha Esa, Yang Hak dan ia adalah Aqlul-Mahdh (akal murni) yang tidak berkaitan denan materi apa pun. 2) Wajib al-wujud bi ghairihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan oleh yang lain. Misalnya: Adanya basah disebabkan oleh adanya air, kebakaran disebabkan oleh api, adanya 7 karena ada 5+2 atau 6+1, atau 2+5, dan sebagainya.

Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina pun menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensinya, karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zatnya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama’).

Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zatnya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial melalui sebab akibatyang terakhir kepada sebab pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini Ibnu Sina berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang maha sempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia. Meski, dalam soal ini, pandangan Ibn Sina memancing kritik dan kontroversi dari ummat Islam atau dari para pemikir Islam lainnya yang mempercayai pengetahuan Allah mencakup yang parsial (furu’) juga yang global (ijmal).

Sebagai perbandingan, barangkali kita juga perlu menyimak pandangan filsuf muslim kontemporer, yang dalam hal ini teosofi-nya Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari: “Dalam hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang dunia, dalam ilmu ketuhanan dibahas beberapa masalah tentang hubungan antara Allah dan dunia, seperti apakah dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal segala sesuatu yang ada ini. Juga dibahas masalah-masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat keseimbangan segenap eksistensi, maka dapat dikatakan di sini bahwa masalah-masalah kearifan dan keadilan ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada masalah keadilan Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa sistem dunia yang ada ini merupakan sistem yang paling arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan, kesadaran dan kehendak. Sistem ini juga merupakan sistem yang paling baik dan sehat. Tak mungkin ada sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini. Dunia yang ada ini merupakan yang paling sempurna” (Lihat Ayatullah Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, Mizan 2009).

Disamping doktrin dari Barat yang sangat kuat, teologi Islam juga masih mempertahankan kehaduran Tuhan. Seperti tokoh filsuf dan ilmu kalam yang satu ini, Ibnu Sina. Pemikirannya tentang ilmu kalam dan intelektualnya sama-sama hebatnya. Julukannya adalah sebagai “Pangeran dan Sheikh dari orang-orang terpelajar”. Faktor yang membuat Ibnu Sina lancar menyerap banyak ilmu salah satunya yaitu ia percaya makna ketenangan dalam hidup pada jalan Allah, Kepercayaan dan ketaatannya kepada Allah yang membuat ia menguasai segala ilmu-ilmu yang tidak lain adalah ilmu Allah. Pengetahuannya yang luar biasa dibidang intelektual tidak membuatnya lupa akan kuasa dan kebesaran Allah Swt, ilmunya tidak melampaui Allah. Munurutnya Tuhan masih ada dan terlibat dalam kehidupan. Dari teologi Ibnu Sina ini dapat di jadikan suatu pedoman untuk muslim, manusia tetap makhluk-Nya yang tidak bisa melampaui kuasa-Nya.

6. Pemikiran Al - Ghazali Tentang Tuhan

Secara garis besar ada dua warna pemikiran al-Ghazali. Pertama, bersifat filosofis dan yang kedua bersifat mistik. Orang boleh berbeda pandangan mengenai siapa al-Ghazali, apakah beliau seorang filsuf ataukah seorang mistik? Kalau orang mulai mengkaji lewat pintu gerbang karyanya Maqashid al-Falasifah atau Tahafut al-Falasifah, maka orang tersebut akan berkesimpulan bahwa al-Ghazali adalah seorang filsuf tulen. Tapi, apabila seseorang masuk melalui pintu gerbang Ihya’ Ulumiddin atau Minhajul ‘Abidin maka dia akan berkesimpulan bahwa al-Ghazali adalah seorang mistik. Sehingga perlu memadukan antara kedua sudut pandang tersebut. Dalam kitab yang beliau tulis yang berjudul Tahafut al-Falasifah, di dalamnya tercantum pemikiran beliau ketika menyanggah teori metafisika Ibnu Sina.

 Berikut tiga diantara dua puluh butir yang menjadi sasaran kritik tajam al-Ghazali :

• Pertama, Bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang besar-besar dan tidak mengetahui hal-hal yang kecil-kecil.

• Kedua, Bahwa alam semesta ini adalah azali atau kekal tanpa permulaan.

Ketiga, Bahwa di akhirat kelak yang dihimpun hanyalah ruh manusia, bukan jasadnya.

Dari mulai munculnya kritik al-Ghazali terhadap filsafat Ibnu Sina hingga saat ini, kaum muslim melihat kajian filsafat dengan pandangan sebelah mata bahkan banyak yang menutup mata. Perdebatan al-Ghazali dengan Ibnu Sina ibarat orang melihat hutan yang tertutup pohon. Pohon dimaksud adalah argumen al-Ghazali sedangkan hutannya adalah dunia filsafat. Banyak yang mengira filsafat hanyalah membahas soal metafisika sehingga ketika argumen metafisika Ibnu Sina ditumbangkan maka tumbanglah dunia filsafat. Padahal masih banyak lagi cabang-cabang dari filsafat yang melandasi tegaknya ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya. Dari dua puluh masalah yang dikupas al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah, hanya masalah ke-17 yang banyak diragukan keakuratannya. Yaitu uraian tentang sebab-akibat (kausalitas) yang dianggap kurang memuaskan terutama dalam kaitannya dengan pembentukan etos ilmu. Hukum kausalitas al-Ghazali diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Argumen tersebut erat kaitannya dengan keinginan al-Ghazali untuk mempertahankan konsepsi mu’jizat secara tradisional. Tekanan pemikiran al-Ghazali bukan pada bagaimana manusia dapat merumuskan hukum alam untuk manfaat manusia dibumi, tetapi lebih tertuju pada penekanan kesimpulan bahwa hukum alam apapun akan dengan mudah diubah oleh Allah. Dalam filsafat ilmu kontemporer, pendapat al-Ghazali tersebut sebenarnya telah terakomodir dalam rumusan bahwa penemuan manusia adalah tidak final dan akan berubah jika temuan yang belakangan yang lebih canggih dan dapat melebihi penelitian yang sebelumnya. Padahal hukum kausalitas bisa didekati secara filosofis dan pragmatis, tanpa perlu mengorbankan pendekatan teologis. Hubungan sebab-akibat itu perlu dicari, dirumuskan, dan juga dibentuk sesuai dengan kebutuhan manusia. Agaknya, dimensi ini yang hilang dari konsepsi al-Ghazali. Menurut bahasa orang sekarang, al-Ghazali masih bersiteguh dalam dunia metafisika spekulatif, sedangkan orang lain sudah turun ke bumi mencari rumus-rumus hukum sebab-akibat tanpa mengurangi arti metafisika.

Sebelum al-Ghazali menulis buku Tahafut al-Falasifah lebih dahulu beliau telah menuliskan buku Maqashidul Falasifah menurut metode buku an-Najah oleh Ibnu Sina yang terdiri dari masalah manthiq, alam, dan ketuhanan. Setelah beliau menerangkan lika-liku filsafat maka ditulislah buku Tahafut al-Falasifah untuk mengoreksi hal-hal yang dianggapnya keliru dalam pemikiran kaum filosof.

Dengan munculnya buku Tahafut al-Falasifah, timbullah petanyaaan berikut :

Dengan menentang filsafat, masih berhakkah al-Ghazali disebut sebagai filosof?

Untuk jawaban pertanyaan diatas dapat dikemukakan uraian berikut; bahwa al-Ghazali masih tetap sebagai seorang filosof meskipun beliau menentang filsafat yang berkembang pada masa sebelumnya karena al-Ghazali memaparkan bantahannya terhadap filsafat dengan analisa filsafat pula. Mematahkan pendapat yang sudah berkembang dengan pendapat baru tidaklah dikatakan keluar dari inti permasalahan. Argumen filsafat dibalas dengan argumen filsafat, tidaklah boleh dikatakan orang yang membalas itu keluar dari pemikiran filsafat. Selain itu pendapat yang dikemukakan al-Ghazali adalah termasuk dalam wilayah kajian filsafat islam. Maka dengan demikian beliau masih berhak disebut sebagai filosof, bahkan ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah seorang filosof murni atau hakiki, karena beliau tidak menerima pengaruh dari filosof-filosof sebelumnya seperti Aristoteles.

Dalam masalah ketuhanan al-Ghazali adalah pengikut al-Asy’ari tetapi beliau merasa kurang puas dengan argumentasi-argumentasi yang dikemukakan oleh al-Asy’ari yang lebih dekat dengan argumen filosofis dari pada agamis. Oleh karena itu al-Ghazali lari kedunia tasawuf untuk mendekati Tuhan. Baginya dalil-dalil akal saja tidaklah dapat untuk mengenal Tuhan secara sebenarnya, karena pengetahuan akal sangatlah terbatas. Filsafat ketuhanan al-Ghazali tercermin antara lain dari diskusi-diskusinya dalam kitab Tahafut al-Falasifah seperti dalam diskusi ke-3, Tuhan sebagai pencipta alam mempunyai iradat dalam penciptaan-Nya itu. Alam ini bukan semata-mata hasil ta’aqqul seperti pendapat filosof. Dalam diskusi ke-6 disebutkan bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat. Pada diskusi ke-7 al-Ghazali menyanggah teori bahwa Tuhan tidak dapat dibagi ke dalam genus dan differentia. Pada diskusi ke-8 beliau menyanggah tesis bahwa wujud Tuhan adalah suatu wujud yang sederhana dan total. Dan dalam diskusi-diskusinya terhadap filosof tampak dengan jelas konsepsi-konsepsi al-Ghazali dalam masalah ketuhanan.

Adapun filsafat akhlak al-Ghazali sangatlah erat kaitannya dengan filsafat ketuhanannya. Sebab tujuan dari butiran nilai-nilai akhlak yang dikemukakannya tidak lain adalah sebagai sarana untuk mencapai makrifatullah dalam arti membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya. Al-Ghazali mentakrifkan akhlak itu dengan “sifat yang tertanam didalam jiwa dari mana timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan fikiran dan pertimbangan”.

Berikut beberapa masalah yang dibahas oleh al-Ghazali didalam kitabnya Tahafut al-Falasifah yang menjadi bahasan utama pemikiran beliau mengenai filsafat, diantaranya;

1. Tentang ketidakmampuan para filosof untuk menguji dengan argumen-argumen rasional bahwa Tuhan itu satu, dan bahwa tidak mungkin untuk mengandaikan dua wajib, wajib yang masing-masing tidak bersebab.

2. Sanggahan terhadap penolakan mereka akan sifat-sifat Tuhan.

3. Tentang ketidakmampuan mereka membuktikan dengan argumen-argumen rasional bahwa ada sebab atau pencipta alam.

4. Sanggahan terhadap penolakan mereka akan kebangkitan kembali tubuh-tubuh.

5. Sanggahan terhadap keyakinan mereka akan kemustahilan perpisahan dan sebab alami peristiwa-peristiwa.

Demikian beberapa contoh yang dibahas al-Ghazali dalam kitab Tahafut al-Falasifah dimana masih banyak lagi masalah-masalah yang beliau bahas.

KESIMPULAN

Manusia senantiasa mencari siapa penguasa tertingi (ultimate reality) di dunia ini. Penguasa tertinggi itu kemudian disebutlah Tuhan.

Secara bahasa, Tuhan (Bahasa Indonesia) sinonim dengan kata God, The Lord God, Almighty God, Deity (bahasa Inggris), Got (Belanda), Golt (Jerman), Gudd (Swedia, Norwegia), Allon (Phoenicians), Ado (Canaanites), Adonai, Yahuwa, Elohim, Ekah, Eli (Yahudi). Secara istilah Tuhan adalah segala sesuatu yang paling dicintai.

Kebenaran Allah telah begitu banyak tersebar di alam ini. Bukti-bukti itu telah pula didukung oleh ilmu dan teknologi modern abad ini. Manusia harus menggunakan akal dan hatinya untuk mengobservasi bukti-bukti tersebut untuk kemudian tunduk kepada Allah dan mengakui akan eksistensi-Nya. Meyakini akan eksistensi Allah merupakan cerminan dan sikap muslim yang beriman. Tidak ada orang beriman yang tidak meyakini eksistensi Allah Swt. Kufur terhadap eksistensi Allah sudah barang tentu akan merusak bahkan dapat dikatakan kafir, tidak beriman kepada yang ghaib.

DAFTAR PUSTAKA

Aristoteles; Biografi dan Pemikiran

Calvin, Yohanes.(2000).Institutio pengajaran agama Kristen. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia

Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag ,(2005), Pendidikan Agama Islam, ITB, Bandung, Hal. 66-67

https://ibtimes.id/?p=44795

https://ibtimes.id/?p=53113

Melling, David.(2002).Jejak Langkah pemikiran Plato.Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya

www.wikipedia.org.id

www.blogspot.com

www.wordpress.com

www.google.com